Refleksi cross culture psychology (menjawab keraguan menjadi do hawu)

Berikut adalah tugas psikologi lintas budaya (cross culture psychology) yang sudah lama saya ambil kelasnya. Pada tugas kali ini,  dosen meminta kami satu kelas untuk membuat refleksi secara jujur dan terbuka mengenai pandangan kami terhadap diri sendiri dan orang lain dari suku dan budaya  yang berbeda. Ada dua pertanyaan yang diberikan, diantaranya:

Analisis dan refleksi diri. Anda bisa melakukan SALAH SATU cara ini:

  1. Deskripsi dan penjelasan atas budaya anda sendiri (pemahaman anda terhadap budaya anda sendiri), bagaimana budaya itu mempengaruhi pemahaman dan cara pandang anda terhadap individu yang berbudaya lain.
  2. Pengalaman anda dalam waktu yang lama (tidak kurang dari 1 tahun) berinteraksi dengan individu dari budaya yang berbeda dengan anda, bagaimana interaksi tersebut mempengaruhi pemahaman anda mengenai diri anda sendiri.

Refleksi saya :

“ketika diminta untuk melakukan refleksi tentang budaya, jujur saya merasa bingung dengan budaya yang saya miliki. Tidak lain dan tidak bukan itu karena saya tidak memahami dan mengetahui budaya dari suku Sabu yang saya miliki. Dengan refleksi ini saya kembali mempertanyakan “ke-sabu-an” saya dan berharap dapat membantu saya mengerti tentang siapa saya.”

Saya dilahirkan dengan latar belakang suku Sabu. Ayah saya adalah orang Sabu asli, begitu juga dengan ibu saya. Hanya saja ayah saya sangat memahami “ke-sabu-annya”, dalam artian dia sangat mengerti dengan baik budaya Sabu. Berbeda dengan ibu saya yang lahir dan besar di pulau Flores tepatnya di kota Ende, ibu saya tidak pernah menginjakan kaki di Sabu dan tidak mengerti apa-apa tentang Sabu bahkan bahasa sabu yang menjadi ciri khas orang sabu tidak dimengerti sama sekali oleh ibu saya.

Karena besar di dalam keluarga yang “berbeda” pemahaman tentang budaya dari suku yang sama, tidak jarang dalam keluarga kami terjadi perbedaan pendapat. Ayah saya yang ketat dengan budaya yang dimilikinya  mendidik saya berdasarkan apa yang diyakininya, yaitu seorang anak laki-laki dari suku Sabu harus kuat dan bertanggung jawab serta melindungi keluarga dan bisa mandiri. Pola asuh ibu saya tidak terlalu keras dan terikat dengan adat, bisa dikatakan dia lebih modern.

Ketika saya keluar dari rumah untuk bersekolah di Flores, ayah saya menekankan bahwa sebagai anak laki-laki, di tanah rantau saya harus menjaga nama baik keluarga. Itupun yang terjadi ketika saya hendak datang ke Pulau Jawa untuk melanjutkan kuliah. Papa tana (papa sayang, panggilan saya terhadap papa) sangat mewanti-wanti saya, sebagai seorang anak laki-laki yang tertua untuk selalu menjaga nama baik keluarga, dan dia mengajarkan saya cara berhubungan dengan orang lain, khususnya orang jawa. Disinilah point pentingnya, ayah saya yang  berlatar belakang pendidikan antropologi  dan banyak bergaul dengan orang-orang dari luar NTT memiliki pandangan tentang orang-orang dari suku bangsa lain, khususnya Jawa, karena saya akan melanjutkan pendidikan di Pulau Jawa.

Beliau mengatakan bahwa orang jawa yang berada di NTT sangat berbeda dengan orang Jawa asli. Orang Jawa yang berada di NTT, cara hidupnya sudah dipengaruhi oleh budaya NTT (meskipun, saya juga tidak tahu budaya NTT itu budaya yang seperti apa, apakah budaya berbicara keras, budaya berani dan emosional, budaya berbahasa kasar atau budaya “minum-minum”dll). Orang Jawa yang asli tinggal di Jawa lebih tenang, ramah dan sensitif serta cenderung tidak menunjukan emosi secara tampak seperti orang NTT . Karena sudah mendapat gambaran tentang “lingkungan beserta komponennya”, maka diawal pengalaman saya berinteraksi dengan orang lain di luar suku saya, saya cenderung lebih berhati-hati.

Dampaknya ketika awal masuk kuliah, saya tidak terlalu melakukan komunikasi dengan orang lain, sehingga ada beberapa teman yang mengatakan saya sombong. Pada waktu saya men-share keadaan saya di Jawa kepada ayah saya, beliau mengatakan bahwa saya tidak boleh terlalu takut dan kaku dalam bergaul dengan orang lain dan harus menganggap semua orang itu saudara, tidak terkecuali orang jawa, oleh karena itu dalam beberapa tahun terakhir ini saya mencoba agar bergaul dan lebih terbuka dengan setiap orang dari suku yang berbeda serta mencoba memahami mereka dan pola kelakuan mereka.

Dulu saya memandang orang Jawa sebagai orang yang terlalu lembut dan pintar menyebunyikan emosi atau secara jujur dapat saya katakan mudah tersinggung dan “ngomong dibelakang-belakang” kalau perasaannya disakiti (yang mana belakangan baru saya sadari bahwa cara pandang seperti ini adalah suatu prasangka etnis). Ternyata dalam beberapa tahun belakangan ini anggapan itu berubah. Proses perubahan itu bukan saja karena saya berinteraksi dengan banyak orang Jawa atau orang-orang dari suku bangsa yang lain tetapi saya mencoba memahami kembali arti menjadi orang “Sabu”. Saya pun menyesal ketika dulu waktu di rumah saya tidak belajar budaya sabu dengan baik, sehingga dapat saya katakan saya “ragu” menyebut diri saya DO HAWU (orang Sabu).

Rasa penyesalan tersebut datang ketika saya bergaul dengan beberapa teman dari suku lain, khususnya teman-teman dari suku Jawa. Teman-teman yang seumuran saya fasih berbicara bahasa “ibu” mereka dalam hal ini bahasa Jawa. Ketika mereka bertanya pada saya dan meminta saya mengajarkan bahasa suku saya yaitu suku sabu, saya tidak bisa berkata apa-apa dan cenderung diam (seperti kata Nicko L. Kana dalam pelatihan metpen di Percik pada saya, “Saya, yakin Talo tidak tahu budaya Sabu itu yang seperti apa.”)  Dari pengalaman tersebut saya langsung berusaha untuk mencoba memahami ‘siapa saya’ dalam konteks budaya yang saya miliki. Saya kembali membaca buku-buku tentang budaya sabu dan mencari informasi di internet tentang kebudayaan Sabu serta bertanya kepada ayah saya tentang kebudayaan Sabu , budaya saya sendiri yang selama ini tidak saya mengerti.

Dari buku-buku yang saya baca, saya mendapat gambaran dan pengetahuan khususnya tentang asal dan hubungan kekerabatan orang sabu. Pada dasarnya orang sabu menganggap semua orang itu saudara, tetapi orang sabu sangat berhubungan erat dengan orang Sumba, Rote, Flores, Belu dan orang Jawa, karena masih berasal dari satu keturunan dan semuanya adalah saudara. Ketika mengetahui hal ini ,  saya mulai berusaha memahami setiap orang, khususnya orang Jawa. Pandangan saya tentang orang Jawa, yang dulu saya anggap sebagai orang yang sangat sensitif dan lebih mudah tersinggung berubah ketika saya mencoba memahami ‘siapa saya?’ dalam konteks kebudayaan suku Sabu yang saya miliki dan membuka diri untuk berinteraksi dengan mereka. Ternyata budaya Sabu yang saya miliki mengajarkan saya untuk menganggap semua orang dari berbagai suku sebagai satu keluarga. Dan dengan tugas refleksi ini saya menjadi sadar akan budaya yang saya miliki sehingga saya dapat memahami setiap orang yang saya jumpai, tentunya dengan tidak terjebak pada pola pemikiran egosentrisme. Dan saya berharap dengan mata kuliah psikologi lintas-budaya, saya dan teman-teman yang lain semakin membuka diri terhadap budaya yang kita miliki kepada semua orang dari suku dan budaya yang lain, karena dengan cara tersebut maka kita bisa memahami orang lain dan mengerti perilaku orang lain dan hal inilah yang dibutuhkan semua calon ilmuwan psikologi.. saya dan anda .. tanpa memandang perbedaan suku.

Peta Pulau Sabu dan Pulau Raijua

9 thoughts on “Refleksi cross culture psychology (menjawab keraguan menjadi do hawu)

  1. belajar psi lintas budaya memang membuka mata dan mata hati kita ya utk lebih paham n menghargai kekayaan budaya, lebih toleran, n menjalin hub yg lebih indah dgn sesama… 🙂

  2. Saking cinta oada tanah kelahiran asal nenek moyang dan irg tua saya saya kalau kangen dgn pulau sabu sering membaca atau mencari info lewat Internet.semoga kita yg masih ada darah sabu makin cinta dgn pulau sabu .. Makasiii Gb..

  3. Salam kenal…
    Orang Tua Saya berasal dari Sabu.. Bapak saya marga Gah…. Mama saya marga Radja.. Saya sendiri lahir dan besar di Tanah Papua, praktis saya tidak mengenal baik budaya tanah asal usul nenek moyang saya… tapi setiap membaca, mendengan cerita dan informasi tentang “Sabu Raijua” … batin saya bergejolak ingin dipuaskan..
    Kalau memang budaya Sabu seperti kesimpulan refleksi ama volta di atas…… maka saya bangga ada darah Sabu yang mengalir dalam tubuh saya… Trims atas infonya, GBU

Leave a reply to soli deo Cancel reply